Jumat, 08 April 2011

Damai itu Indah

Damai dalam Pertentangan
M
emang ironis kalau symbol lebih di kenal dari pada kenyataan.Akan tetapi, itulah yang terjadi di Tokyo bulan lalu (April 1993).Film Ghandi yang baru saja memenangkan delapan Oscar di Hollywood, diputar serentak di sekian bioskop.Masyarakat Jepang rupanya disentuh nuraninya oleh film yang menggambarkan perlawanan tanpa kekerasan.
Akan tetapi, sebuah kebijakan lain di Tokyo waktu itu hampir-hampir tidak memproleh perhatian. Hanya dimuat dalam berita pendek di sudut bawah Koran-koran Jepang: Uskup Agung Helder Camara menerima hadiah Niwano untuk perdamaian. Padahal tahun inilah hadiah itu baru pertama kali diberikan.
Hadiah Niwano direncanakan akan dikeluarkan tiap tahun oleh Yayasan Perdamain Niwano, salah satun lembaga yang berasal dari gerakan kaum Budhis terbesar di Jepang, Rissho kosei-kai.
Di samping memberikan hadiah untuk prestasi terbaik dalam menumbuhkan saling perhatian antaraagama dan memajukan perdamaian, yayasan itu juga menjadi sponsor konferensi dunia tentang agama dan perdamaian, (world conference and peace religious) yang sudah berlangsung tiga kali.
Hadiah Niwano justru punya arti penting oleh pemilihan pemenangnya pertama ini: Uskup Agung Olinda Reicive, Brasilia, Helder Pesoa Camara oleh penggemarnya yang disebut Dom Helder. Ialah “Uskup Merah”. Hal itu berarti bahwa hadiah perdamaian itu diberikan berdasarkan pertimbangan yang tidak konvensional tentang “perdamaian” itu sendiri. Ini menjadi  jelas bila untuk penghargaan baru itu dibandingkan dengan hadiah nobel untuk perdamaian.
“Perdamaian” , dalam hadiah nobel, mengandung arti menghindarkan, melerai, mengurangi atau menyelesaikan konflik. Konfliknya tidak dibatasi, baik terorisme bersenjata di Irlandia Utara maupun pertentangan politik seperti sengketa Arab – Israel. Tidak heran kalau pejuang Palang Merah sampai pejabat pemerintah dapat meraih penghargaan itu (Sadat dan Begin misalnya). Juga pejuang kemanusiaan dalam arti umum, seperti Albert Schwitzer yang bergulat dengan penyakit lepra di Afrika Hitam atau suster Maria Theresia yang mengurusi kaum melarat di Calcutta, India.
Dalam wawasan serba konvensional itu, perdamaian memang dirumuskan sebagai tidak ada pertentangan; juga sebagai keadaan meratanya kesejahteraan hidup, ketika yang mengidap penyakit memperoleh pertolongan dan yang miskin disantuni. Walhasil karitas yang umum terdapat di mana pun di seluruh dunia.
Konsep konvensional itu justru ditinggalkan oleh Yayasan Niwano, setidaknya tahun ini. “Uskup Merah” Dom Helter tidak akan memperoleh julukan merah kalau ia menghindari konflik. Yang dilakukannya justru mendorong berlangsungnya perlawanan terhadap kekuasaan militer yang menindas rakyat dan sruktur yang timpang, di negaranya sendiri ,aupun di Amerika Latin pada umumnya.
Hanya saja perlawanan yang diserukan dan ditunjangannya bukan perlawanan bersenjata, apalagi terorisme. Di sini, dia memenuhi kedua criteria Yayasan Niwano: memajukan perdamaian dan sekaligus ,mengembangkan saling pengertian antaragama. Dan caranya di anggap unik.
Bermulai dari keyakinan akan kebenaran moralitas yang bersandar pada asas kasih sayang, ia menghimbau kalangan rohaniawan agamanya sendiri untuk menegakkan masyarakat baru yang tidak diwarnai penindasan. Upaya menghilangkan penindasan berarti kesediaan untuk turut menegakkan struktur ekonomi yang adil – yang bebas dari eksploitasi kalangan yang oleh Dom Helder disebut “mereka yang memiliki uang”, alias kaum modal. Jika pemerintah dan kekuasaan yang ada mengukuhkan struktur eksploitatif, kalangan agama harus memunculkan alternative mereka dibawah: swadaya masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan , membebaskan diri dari kungkungan hukum yang tidak adil, dan memperjuangkan hak-hak asasi.
Petani didorong berani mengambil inisiatif dan memulai perombakan struktur pemilikan dan penguasaan tanah, alias land-reform. Dilanjutkan dengan membentuk ysaha prakooperatif. Kaum buruh di kota didorong berani menuntut hak mereka dari pihak majikan – kalau perlu dengan pemogokan. Generasi muda diimbau memperjuangkan hak-hak politik sepenuhnya, kalau perlu dengan demonstrasi. Dan, kalangan intelektual diminta mempelopori jaringan pendidikan yang benar-benar relevan dengan kebutuhan golongan miskin; penyadaran akan keadaan mereka, dan kemampuan yang mereka miliki untuk mengubah nasib.
Sikap seperti itu, menurut kacamata Uskup Agung Helder Camara, adalah inti perdamaian. Itulah upaya menegakkan masyarakat yang benar-benar adil. Hanya saja upaya tersebut dilakukan tidak dengan merobohkan system kekuasaan yang ada tetapi dengan mengubahnya secara berangsur-angsur. Tindak kekerasan dari pihak pemegang kekuasaan harus dihadapi sikap menentang bentuk kekerasan itu sendiri. Di sini bertemulah sikap menjunjung tinggi perdamaian (tanpa mengurani sedikit pun kewajiban menentang struktur masyarakat yang timpang) di satu pihak dan sikap mengembangkan saling pengertian antaragama di pihak lain.
Dom Helder memang secara terbuka “meminjam” cara-cara yang dikembangkan dalam agama-agama lain, yakni dari perjuangan Mahatma Ghandi di lingkungan agam Hindu dan Martin Luther King di kalangan agama protestan. Ghandi memperjuangkan kemerdekaan India, sedangkan King memperjuangkan hak-hak sipil golongan kulit hitam di Amerika Serikat. Akan tetapi, keteguha mereka untuk berjuang secara militan dan kekerasan adalah sesuatu yang universal yang dapat dilakukan kalangan mana pun, termasuk kalangan Katolik Amerika Latin – mungkin demikian jalan pikiran Helder. Bukanlah dengan saling pengertian mendasar antaraagama seperti itu, masing-masing agama akan memperkaya diri dalam mencari bekal perjuangan menegakkan moralitas, keadilan, dan kasih sayang?
Banyak yang dapat diambil dari kiprah menegakkan perdamaian di tengah pertentangan, dan saling pengertian di tengah perbedaan ajaran agama dan paham. Relevankah pelajaran itu bagi kita? Kita semua sudah tahu jawabannya – walaupun aneh juga bahwa dari Indonesia dating pencalonan untuk hadiah tersebut, yang mengusulkan seorang jenderal. Konsepnya tentang perdamaian tentu lain lagi.

1 komentar: